Jumat, 24 Juni 2016

Ibadah Qiyamul Lail, Tarawih dan Tahajjud

Ramadhan adalah bulan obral pahala. Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengaskan bahwa nilai ibadah sunnah akan dinilai setara dengan pahala ibadah wajib dan nilai ibadah wajib akan dilipat gandakan hingga 70 kali lipat, demikian Imam Ibnu Khuzaimah dalam kitabnya menuliskan hadits tersebut.
Terlepas bahwa keterangan diatas masih menjadi catatan para ahli hadits, namun maknanya sangat memotivasi kita untuk terus melakukan amalan-amalan kebaikan khususnya di bulan ini. Salah satu yang menjadi target amalan sunnah dibulan ini adalah kita semua bisa bersama melaksanakan ibadah malam, khususnya sholat malam; tarawih, tahajjud, witir, dan lainnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti yang ditulis oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitabnya menyatakan:
من قام رمضان إيماناً واحتساباً غُفر له ما تقدم من ذنبه
“Siapa yang sholat malam di bulan ramadhan dengan penuh iman dan mengharap ridho Allah maka akan diampuni dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhori dan Muslim)
Qiyamul Lail/Qiyam Ramadhan
Ibadah Qiyamul Lail / Sholat malam adalah sholat yang dikerjakan setelah sholat isya’ hingga terbit fajar, baik shalat tersebut dikerjakan pada bulan ramadhan atau pada selainnya, demikian makna umumnya. Untuk sholat malam pada bulan ramadhan juga sering disebut dengan istilah Qiyam Ramadhan.
Dahulu, awal mulanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang memulai untuk melaksanakan sholat malam pada malam-malam bulan ramadhan, berikut Aisyah ra bercerita seperti dalam riwayat Imam Al-Bukhari:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam pernah melaksankan shalat kemudian orang-orang shalat dengan shalatnya tersebut, kemudian beliau shalat pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya tambah banyak kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Dan di pagi harinya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat) bersama kalian kecuali aku khawatir bahwa shalat tersebut akan difardukan.” Rawi hadits berkata, “Hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam keluarnya pada jauf al-lail (tengah malam), itu artinya kebiasaan sholat malam pada selain ramadhan juga dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada bulan ramadhan. Jadi shalat malam itu adalah nama umum untuk setiap sholat yang dikerjakan pada malam hari setelah sholat isya’ hingga terbit fajar.
Ibadah Tarawih adalah Sholat Malam
Sepertinya belum ada istilah tarawih pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, karenanya dalam teks hadits diatas Aisyah memakai redaksi sholat secara umum, atau hadits-hadits tentang shalat di bulan ramadhan diungkap dengan redaksi Qiyam Ramadhan bukan dengan tarawih. 
Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat, ibadah malam dibulan ramadhan dilaksanakan sendiri-sendiri oleh para sahabat, sehingga datanglah masa Umar bin Khattab, dan beliau mengintruksikan agar ibadah malam yang sering dilakukan sendiri-sendiri itu dirubah menjadi berjamaah dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab.
Sahabat Umar mengumpulkan jamaah shalat malam ramadhan dalam jumlah 20 rakaat, dimana pada setiap selesai empat rakaat (dua kali salam) mereka semua istirahat dari shalat dan melakukan thawaf, dan thawaf ini juga ibadah. Seperti inilah akhirnya yang dilakukan oleh penduduk Makkah kala itu, dan tidak terdengar ada sahabat yang menentang pendapat Umar ini.
 Istirahat dari setiap selesainya empat rakaat inilah yang dikenal dengan istilah tarwihah/istirahat, demikian Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menuliskan.  Karena ada banyak tarwihah dalam shalat tersebut sehingga disebut dengan tarawih. Dari sinilah muncul istilah tarawih, dan shalat malam yang sering dikerjakan oleh ummat Islam setelah shalat isyak akhirnya disebut dengan Shalat Tarawih, selebihnya shalat ini juga disebut dengan shalat malam atau ia adalah bagian dari shalat malam.
Mendengar bahwa penduduk Makkah melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat dan setiap jedah empat rakaat mereka melakasanakan thawaf, maka akhirnya di zaman Imam Malik penduduk madinah melakasanakan shalat tarawih dengan jumlah 36 rakaat, dengan mengganti setiap thawafnya penduduk Mekkah dengan 4 rakaat shalat tarawih.
Pada akhirnya jumlah 20 rakaat inilah yang menjadi pegangan mayoritas ulama fikih dalam banyak pendapat mereka, walaupun sebenarnya tidak ada pembatasan khusus dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkait berapa rakaat seharusnya jumlah shalat tarawih.
Memang ada riwayat yang menjalaskan perihal shalat malamya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam baik dibulan ramadhan maupun dibulan lainnya yang tidak lebih dari 11 rakaat, seperti hadits Aisyah ra berikut ketika beliau ditanya bagaimana shalat malamnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
ما كان رسول الله يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة
Aisyah ra menjawab: “Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah shalat malam melebihi 11 rakaat baik pada bulan ramadhan maupun pada bulan lainnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jumlah ini menurut Ibnu Taimiyah dan ulama lainnya tidaklah menjadi batas akhir, karenanya memungkinkan untuk melebihi jumlah tersebut. Apalagi sosok Umar bin Khattab yang tidak mungkin akan mengambil keputusan 20 rakaat  plus thawaf jika tanpa dalil dan penalaran yang matang tentang urusan beragama.
Kiranya apa yang dilakukan Umar bin Khattab ini janganlah dibenturkan dengan apa yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah lakukan, karenan urusan ini bukan hanya perkara teks dalil, tapi ini juga perkara dalam memahami teks/pendalilan, dan sahabat Umar adalah salah satu sahabat yang ahli dalam masalah analisis teks/pendalilan. Belum lagi bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  berpesan agar juga berpegang dengan sunnah-sunnah Khalifah Ar-Rasyidun, dan Umar adalah salah satu dari mereka.
Shalat tarawih ini juga bisa dibagi dalam dua waktu, sebagian dikerjakan diawal waktu dan sebagiannya dikerjakan diakhir waktu, lalu kemudian ditutup dengan witir. Karena tarawih adalah shalat malam maka waktunya pun luas, selama fajar belum terbit masih boleh melaksanakan tarawih.
Tahajjud juga Shalat Malam
Berdasarkan arti dari tahajjud itu sendiri, maka shalat ini adalah shalat sunnah yang dikerjakan setelah bangun dari tidur malam. Allah SWT berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”(QS. Al-Isra’ : 79).
 Shalat ini juga bagian dari Qiyamul Lail/shalat malam, Al-Quran mengungkapkan:
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً  نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً
“Wahai orang yang berselimut, bangunlah (untuk shalat) pada malam hari kecuali sedikit, yaitu setengahnya atau kurang dari itu sedikit”. (QS. Al-Muzzammil : 1-3)
Umumnya para ulama membolehkan untuk melaksanakan shalat tahajjud setelah shalat tarawih. Baik sendirian maupun berjamaah, di rumah maupun di masjid. Terlebih bahwa akhir malam adalah waktu yang paling baik untuk beribadah kepada Allah SWT dan berdoa.
Walaupun sebagian tetap menganjurkan untuk menyelesaikan shalat tarawih dan witir bersama imam di masjid, merujuk kepada keutamaannya yang disebutkan oleh Rasulullah bahwa:
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة
Siapa saja yang ikut shalat tarawih berjemaah bersama imam sampai selesai maka untuknya itu dicatat seperti shalat semalam suntuk.” (HR. Abu Daud dan Turmudzi)
Tahajjud Setelah Witir 
Sebenarnya ini permasalahan khilafiyah diantara para ulama, walaupun akan lebih aman jika dikerjakan sebelum shalat witir, namun dari beberapa riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga pernah melaksanakan shalat sunnah setelah witir, ini artinya bahwa walaupun sudah witir bersama imam di masjid, masih memungkinkan untuk tetap melaksanakan tahajjud atau shalat malam lainnya di rumah, tanpa harus ditutup dengan shalat witir lagi.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
لا وتران في ليلة
“Tidak boleh melakukan dua kali witir dalam satu malam.” (HR. Ahmad, Nasai da Abu Daud)
Kebolehan untuk tetap melaksanakan tahajjud walaupun sudah melaksanakan witir didasarkan pada cerita Aisyah ra:
“Kemudian beliau bangun untuk melaksanakan rakaat kesembilan, hingga beliau dudu tasyahud, beliau memuji Allah dan berdoa. Lalu beliau salam agak keras, hingga kami mendengarnya. Kemudian beliau shalat dua rakaat sambil duduk.” (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi ketika menjalaskan hadits diatas menuliskan bahwa dua rakaat yang dikerjakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sambil duduk tersebut dilakukan setelah shalat witir, ini sebagai penjelas bahwa masih boleh shalat setelah witir, dan kebolehan shalat sunnah sambil duduk, walaupun yang demikian jarang dilakuakn oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Jadi Kesimpulannya?
Dalam permasahan ini, penulis sepakat dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Dr. Ali jumuah:
الإنسان يجب وينبغي عليه أن يعبد ربه طاقته؛ يعني في حدود طاقته، وليس عليه أن يكلف نفسه ما لا تطيق.
Bahwa harusnya setiap kita berusaha untuk beribadah/menyembah Allah sesuai dengan batas kemampuannya, tanpa harus memaksakan apa yang sebenarnya tidak kuasa dilakukan.
Untuk itu, beliau melanjutkan:
ولذلك من صلى الثمانية ثم أوتر بثلاث؛ فلا بأس بها، ومن صلى العشرين وأوتر بثلاث؛ فلا بأس بذلك، ومن قام بعد ذلك بليل، فأراد أن يزيد صلاة التهجد؛ فلا بأس بذلك.
Bagi siapa yang mau melaksanakan shalat 8 rakaat dengan 3 witir silahkan, dan itu tidak ada masalahnya. Dan siapa yang ingin mengerjakan shalat dengan 20 rakaat dengan 3 witir itu juga tidak ada yang salah, lalu jika ada yang ingin menambah shalat lagi di malamnya, atau menambah dengan shalat tahajud itu juga tidak ada masalah.
Demikian bahwa perkara ini sangat longgar, hingga akhirnya yang terpenting bagi kita sekarang ini adalah sebisa mungkin untuk tidak meninggalkan shalat malam di malam-malam bulan ramadhan tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas shalat yang dilakukan. Karena, “Siapa yang sholat malam di bulan ramadhan dengan penuh iman dan mengharap ridho Allah maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”
Sumber : rumahfiqih.com

Minggu, 05 Juni 2016

Kiprah Ajengan Ahmad Sanusi dan KH Wahid Hasyim Dalam Sidang BPUPKI


Pada 13 Juli 1945 dimulai Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) guna mendengarkan laporan dan mengesahkan hasil kerja Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Rapat berlangsung maraton dari 13 sampai 16 Juli, sejak pagi hingga hampir tengah malam.
Selaku ketua Panitia Perancang UUD, Ir Sukarno melaporkan hasil kerjanya kepada Rapat Besar berupa Rencana Pernyataan Kemerdekaan yang merupakan cikal bakal Pembukaan UUD.
Betapa pun Sukarno meyakinkan peserta rapat Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (BPUPKI) agar menerima hasil kerja Panitia Perancang Sembilan Orang (kemudian dikenal sebagai Panitia Sembilan) sebagai kompromi terbaik antara golongan Islam dengan golongan kebangsaan, pro-kontra tetap muncul juga.

Keberatan muncul terutama terhadap rumusan: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.


Wahid Hasyim Menolak Lobi Latuharhary Soal Penghapusan 'Tujuh Kata' di Piagam Jakarta
Mula-mula, Latuharhary dan kawan-kawan menyatakan keberatan atas rumusan tersebut.  Keberatan Latuharhary dijawab oleh H Agus Salim dan KH Abdul Wahid Hasjim. Kepada Latuharhary dan pihak-pihak lain yang keberatan, Kiai A Wahid Hasjim mengatakan, "Inilah rumusan hasil kompromi yang bisa dicapai."
Menurut putra Hadratus Syekh KH M Hasjim Asy'ari itu, jika ada yang menyebut rumusan "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" terlalu tajam, ada juga yang berpendapat sebaliknya, terlalu tumpul. Bahkan, ada yang bertanya kepada Kiai Wahid, "Apakah dengan rumusan lunak seperti itu orang Islam sudah boleh berjuang menceburkan jiwanya untuk negara Indonesia yang akan didirikan ini?"

Jika Latuharhary dan kawan-kawan keberatan dengan keseluruhan rumusan, Ketua Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo hanya meminta agar kalimat "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus sehingga sila pertama rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 berbunyi: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam."

Demikian kerasnya perdebatan, KH Abdul Kahar Moedzakkir yang mendukung Ki Bagus sampai harus memukul meja. Ki Bagus sendiri bahkan memulai salah satu pembicaraannya dengan kata-kata: "Saya berlindung kepada Allah terhadap syetan yang merusak." Ketua rapat, Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, menawarkan pemungutan suara untuk menghindari kemacetan persidangan.
Di tengah suasana rapat besar BPUPK yang makin panas dan menunjukkan tanda-tanda bakal berujung di jalan buntu, Ajengan Ahmad Sanusi (1888-1954) dari Sukabumi tampil bijak. Seraya menolak voting yang ditawarkan Radjiman, pendiri Persatuan Ummat Islam (PUI) itu meminta dengan sungguh-sungguh "supaya permusyawaratan berjalan tenang, dengan memancarkan pikiran ke sebelah kanan dan ke kiri, ke luar dan kembali".

Sanusi mengingatkan agar rapat BPUPK jangan mengambil keputusan dengan tergopoh-gopoh.

Jasa Ajengan Sanusi yang Terlupakan
Sesudah mengingatkan peserta rapat Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai agar berlindung kepada Tuhan masing-masing, Sanusi mengusulkan kepada ketua rapat agar suasana rapat didinginkan dulu. Usul Sanusi segera ditangkap oleh Radjiman. Rapat BPUPK malam itu pun ditunda sampai besok pagi.
Sesudah rapat ditunda sesuai saran Sanusi, malam itu Ketua Panitia Sembilan bergerilya melakukan pendekatan kepada para anggota BPUPK dari kedua kalangan: Islam dan kebangsaan. Dengan pendekatan yang dilakukan Bung Karno hingga "hampir datang waktu subuh".
Hasil kerja Panitia Sembilan pun keesokan harinya diterima oleh rapat besar Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai. "Dengan suara bulat diterima Undang-Undang Dasar ini," ujar Radjiman Wedyodiningrat seraya mengetukkan palu.
Jasa Ajengan Sanusi mendinginkan suasana, dengan interupsinya yang jernih, niscaya tidak mungkin dicoret dari sejarah. Sejarah memang tidak boleh diandaikan. Akan tetapi, tanpa interupsi Ajengan Sanusi, rapat besar BPUPK bisa berakhir tanpa menghasilkan UUD.

Masih adakah yang mengingat Ajengan Sanusi, sang penyelamat sidang BPUPK?

Sumber : khazanah.republika.co.id